Peraturan baru sekolah itu menggelisahkan kami: bahwa mulai tahun ajaran baru ini, anak kami harus berangkat lebih pagi. Dengan segera, kami membayangkan sederet panjang daftar kerepotan sebagai konsekuensi.
Pertama adalah keharusan bangun jauh lebih pagi. Ini pasti tidak mudah. Cukup waktu tidur saja, anak-anak kami itu masih serasa kurang tidur. Apalagi ini benar-benar akan kurang tidur. Membayangkan anak-anak harus dibangunkan paksa di pagi buta adalah pemandangan yang membuat kami tidak tega.
Itu baru kerepotan pertama. Kerepotan berikutnya adalah soal pembagian waktu. Dengan dua anak yang berangkat dengan jam yang berbeda mendatangkan pilihan keputusan yang membingungkan. Jika menuruti jam yang pagi, yang lain jadi kesiangan. Jika berangkat bersama, jam yang siang jadi kepagian. Jika mendahulukan yang pagi, untuk kembali menjemput yang agak siang, keadaan pasti sudah kepalang ruwet. Jalan raya sudah akan semakin padat. Jarak dari rumah ke sekolah terlalu jauh untuk sekadar antar jemput kilat semacam itu. Sampai di titik ini persoalan belum terpecahkan.
Tetapi apa yang saya sebuat sebagai ‘’persoalan belum terpecahkan’’ itu tenyata bukan karena begitu beratnya sebuah persoalan, melainkan karena kami, tepatnya saya, terlalu mempersulit persoalan. Seluruh kalkulasi soal keberangkatan, pembagian waktu, sebutan terlalu pagi dan terlalu siang itu, hanyalah gambaran kekhawatrian yang saya perbanyak sendiri. Persoalan ini sungguh begitu mudahnya diatasi, yakni cukup dengan kami sekeluarga mau bangun lebih pagi.
Lalu seluruh kalkulasi yang memberatkan kami bangun pagi itu kami teliti satu persatu. Agak kaget melihat hasilnya, karena hampir seluruhnya, isi keberatan itu bangun pagi itu sungguh hanya bernama kemalasan tersembunyi. Karena setelah kami coba, bangun pagi itu ternyata sehat sekali. Ujiannya hanya terletak ketika kami hendak bangun saja. Pada saat harus bangun itulah mata rasanya memang lengket sekali dan tidur rasanya malah enak sekali. Tetapi apalah arti ujian semacam ini jika bandingannya adalah sederet keberkahan yang nanti akan kami temui
Jalanan ternyata lengang sekali. Dan kami berkendara dengan nyaman sekali. Kami sekeluarga menjadi sempat melihat kanan-kiri, menikmati pemandangan pagi. Padahal cuma butuh waktu setengah jam ke depan, jalan sepi ini akan berubah menjadi medan kanibal, penuh sesak, penuh klakson, penuh wajah buru-buru dan juga penuh caci-maki. Cukup hanya dengan mau bangun lebih pagi, kami bukan cuma terhindarkan dari itu semua, tetapi juga sanggup menikmati apa yang tidak dinikmati oleh orang-orang yang berangkat di jam berikutnya.
Jadi, cukup hanya dengan mau bangun lebih pagi, itu kuncinya. Tapi benarkah mau? Tunggu dulu. Karena jika cuma berdasarkan mau, kami pasti tidak mau. Karena pada awalnya kami tidak setuju pada peraturan baru sekolah itu. Kami bukan mau, tetapi terpaksa mau baru kemudian kami ketemu kebaikan ini. Karenanya, sesuatu perubahan, yang pada awalnya membuat Anda marah dan terpaksa, tolong diwaspadai. Karena biasanya, ia adalah pintu kebaikan yang tak terkira baiknya.
Semoga karya karya yang tercipta lewat kilatan cahaya ini bisa menginspirasi anda
Senin, 06 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Liverpool Incar Kiper Stoke City untuk lapis adrian yang kurang greget
kabarnya bergerak cepat mencari kiper baru menyusul performa buruk adrian Pemain Stoke City, Jack Butland disebut jadi incaran. Memang bena...
-
Dasar si ucup, mentang mentang jadi orang kaya baru ada ada saja kejadiannya. Baru beberapa hari saja, Si ucup sudah punya penyakit darah ti...
-
Ucup baru saja belajar mengenal dunia perkomputeran. Ada-ada aja kejadian yang dia alami. Suatu siang Ucup menelepon toko tempat dia baru sa...
-
(atas beberapa saran maka artikel ini kami perbaiki, terima kasih) Menjaring pengunjung bagi blogger pemula mungkin sesuatu yang sangat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar